Coba tengok tahun 1990, dimana tahun tersebut adalah momentum terbaik industri kimia nasional, ini dibuktikan dengan banyaknya pembangunan industri kimia di Indonesia. Namun sayangnya, sepuluh tahun kedepan tepatnya di tahun 2000 hampir sekitar 80 % industri kimia harus masuk skema BPPN, sehingga banyak proyek yang harus berhenti akibat mengalami kesulitan keuangan yang cukup parah dan perlu restrukturisasi.
Lantas kita tengok tahun 2010, bisa dikatakan tahun Shio Macan ini sebagai awal kebangkitan industri, pasalnya program Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) yang terangkum dalam roadmap industri 2010-2015 serta program pemerintah dalam upaya mendorong kembali pembangunan industri. Contohnya, seperti revitalisasi pabrik semen, revitalisasi pabrik pupuk dan seterusnya. Kondisi ini menunjukkan nafas yang sama untuk meningkatkan pembangunan industri kimia.
Sementara untuk karakteristik industri kimia sendiri bersifat global bahkan beberapa produk dikuasai oleh hanya beberapa perusahaan dan kadang berupa kartel. Sulitnya penguasaan teknologi oleh perusahaan nasional disebabkan sifatnya yang proprietary sehingga tidak semua investor bisa memproduksi barang tersebut, akibat ketiadaan teknologi yang ada. Contohnya acetic acid, TDI (toluene di-isocyanate), methyl-methacrylate dimana pemilik produk juga pemilik teknologi, sehingga bagi pelaku industri yang hendak berinvestasi di bidang ini disyaratkan harus dilakukan dengan model kerja sama, dimana pemilik proses meminta sahamnya mayoritas.
Tuntutan yang dihadapi industri kimia juga semakin rumit, seperti isu lingkungan, WTO, FTA, CSR, REACH dan sederet tantangan lainnya. Di era global ini, selain harus kompetitif, harus bisa menjaga lingkungan dengan baik, harus juga menghadapi berbagai ganjalan unfair trade yang banyak dilakukan oleh negara lain, contoh sederhana seperti bantuan pemerintahnya dalam menggenjot ekspor dengan cara memberikan subsidi untuk pelaksanaan pameran di luar negeri, kadang dumping dan lain-lain. Maklum dalam era perdagangan bebas ini antara pengusaha dan penguasa justru harus semakin bersatu menghadapi gempuran produk dari luar.
Mari kita perhatikan karakteristik industri di manca negara, seperti pertama, Uni Eropa sebagai asal usul industri kimia yang daya saing industrinya didasarkan atas efisiensi dengan keterkaitan produk hulu-hilir yang kuat, infrastruktur yang sangat memadai, SDM yang kuat, R&D yang terus dikembangkan, tetapi dengan kelemahan semakin mahalnya bahan baku dan energi untuk industri hulu, biaya hidup tinggi dan rendah daya saing untuk produk generik sehingga lebih banyak bergeser ke industri yang high-tech, specialty material, industri hilir, produk high quality, termasuk melakukan merger dalam rangka menghadapi persaingan global dan sudah tidak gengsi lagi untuk melakukan un-fair trade yang sebelumnya sangat mendukung adanya persaingan bebas.
Kedua, Amerika Serikat, karena mempunyai sumber bahan baku dan energi, pasar yang besar meskipun industrinya mirip Uni Eropa tetapi daya saingnya masih patut diperhitungkan. Sehingga masih merasa gengsi untuk menyatakan tetap komit dengan persaingan bebas dan sebagai negara kapitalis yang meskipun juga mulai ancang-ancang untuk menerapkan unfair trade seperti halnya Uni Eropa.
Ketiga, Timur Tengah sebagai kekuatan baru untuk produk industri kimia hulu, karena bahan baku bisa diperoleh dengan harga murah, dimasa mendatang akan terjadi kemungkinan banjir produk dari Timteng, seperti produk ethylene, tahun 2006 hanya 15 juta ton/tahun dan diprediksi bakal mencapai 34,2 juta ton di 2011. Dibandingkan dengan Indonesia yang stagnan di 0,7 juta ton/tahun, apalagi mengunakan bahan baku etana dan propana yang lebih murah dibanding naptha yang secara tradisionil digunakan oleh produsen lainnya.
Sumber :
http://www.infokimia.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=176:konsep-pengembangan-industri-kimia&catid=60:perspektif&Itemid=184
Tidak ada komentar:
Posting Komentar