Kenaikan harga minyak dunia di pasar internasional memengaruhi industri plastik hilir atau industri kemasan yang berbahan baku plastik. Ketergantungan impor menyebabkan industri plastik sulit bersaing.
Demikian dikatakan Direktur Utama PT Dynaplast Tbk Tony Hambali di pabriknya di kawasan industri Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, Senin (14/9), ketika menerima kunjungan Menteri Perindustrian Fahmi Idris. Menperin juga sempat mengunjungi industri plastik PT Plasindo Lestari di Karawang, Jawa Barat.
Tony menjelaskan, harga bahan baku plastik, yaitu Polypropylene dan Polyethylene, di Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan dengan harga bahan baku di negara ASEAN lain.
Itu terjadi setelah Februari lalu saat bea masuk bahan baku plastik yang diimpor dari negara-negara non-ASEAN dinaikkan dari 10 persen menjadi 15 persen. Padahal, basis harga ini menjadi patokan harga bahan baku di pasar Indonesia.
Polypropylene adalah bahan plastik yang dipakai untuk kemasan makanan ringan. Adapun Polyethylene adalah bahan plastik yang dipakai untuk mengemas minuman atau barang kemasan.
Menurut Willy Sidharta, Ketua Federasi Industri Plastik Indonesia (Fiplasin), harga Polypropylene lokal mencapai 1.430 dollar AS per ton.
Sementara itu, harga impor Polypropylene hingga diterima di pelabuhan importir sekitar 1.260 dollar AS per ton. Biaya impor masih ditambah bea masuk 10 persen, sedangkan impor dari negara-negara di ASEAN dan Korea ditambah biaya lain 2,5-3 persen.
Keterbatasan produk lokal
Menurut Tony, harga Polyethylene sekitar 1.400 dollar AS per ton. Kesulitan bahan baku Polypropylene dan Polyethylene disebabkan keterbatasan produksi lokal. Produsen lokal cenderung memproduksi bahan baku jenis umum.
Tony menyebutkan, kesulitan lain yang dialami industri plastik hilir dan beberapa industri lainnya adalah penggunaan mata uang asing dalam transaksi jual beli bahan komoditas, seperti bahan baku plastik dan kimia.
”Ini menjadi kesulitan karena kami harus menjual dalam mata uang rupiah. Ini terjadi akibat tekanan pelanggan,” ujar Tony.
Atas kendala tersebut, Ketua Asosiasi Industri Plastik Hilir Indonesia (Aphindo) Tjokro Gunawan mengingatkan pemerintah karena berlakunya Kesepakatan Perdagangan Bebas (Free Trade Agreement/FTA), khususnya di ASEAN, telah membuat perusahaan-perusahaan besar mengubah strategi pabrikannya.
”Kalau tadinya mereka memiliki pabrik di setiap negara, saat ini mereka memilih satu negara yang mempunyai kemampuan kompetitif. Dari pilihan itulah hasil produksi mereka diekspor ke negara lain,” katanya.
Fahmi Idris mengatakan, berbagai upaya terus dilakukan untuk mendukung pengembangan industri plastik, di antaranya dengan penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) terhadap produk plastik. Hal itu dilakukan untuk menghadapi serbuan produk impor. (OSA)
Sumber :
Kompas
Selasa, 15 September 2009, Hal. 19
dalam :
http://www.bsn.or.id/news_detail.php?news_id=1290
Tidak ada komentar:
Posting Komentar